Haruskah Menempelkan Jari Kaki Ketika Sholat Berjamaah

Sang Perusak kekhusyukan Sholat

menempelkan kaki saat sholat berjamaah

Sholat berjamaah adalah lebih utama di banding sholat sendiri, pahalanya 27 derajat di banding sholat sendirian. Ada kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri jika sholat berjamaah apalagi di lakukan di mesjid, ada semacam ketenangan yang muncul dari dalam hati. Tapi bagaimana jika tiba-tiba ketenagan anda dan kekhusyukan sholat " Terkontaminasi " oleh ulah orang di samping anda yang tiba tiba tanpa minta izin menempelkan jari kakinya ke jari kaki anda.

Mau tidak mau kita yang tak pernah melakuakn hal seperti itu pasti merasa risih, kosentrasi untuk sholat menjadi buyar, jika kita menggeser kaki  mereka malah mengejar sepertinya kaki mereka punya magnet. Jadilah sholat berjamah yang di lakukan menjadi aksi "kejar kejaran" antar jari kaki. Hilang sudah kenikmatan sholat berjamaah.

Ada apa ini? Bagaimanakah posisi berdiri tegak betul itu apakah jari kaki mesti bersentuhan ataukah mereka yang selalu main tempel tempelan jari kaki yang salah memahami hadist sehingga selalu berkeras hati hendak memaksakan paham kepada setiap orang

Hadist Tentang Menempelkan Jari Kaki


Hadits menempel kaki ini perawinya cuma 2 orang di level sahabat, yaitu Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhuma.

Coba kita lihat dan teliti haditsnya:

1. Hadits Riwayat Anas bin Malik

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)

Dari situ Nabi cuma bilang: “Tegakkanlah shaf kalian”. Sekali lagi Nabi cuma bilang: “Tegakkanlah shaf kalian”. Nabi tidak bilang kita harus menempel telapak kaki.

Anas bin Malik menyatakan bahwa ada orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. Orang tsb bukan sahabat Nabi yang terkenal macam Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dsb. Jika benar, tentu namanya sudah disebut. Jadi orangnya tidak kita kenal siapa. Cuma satu orang. Bukan semua sahabat. Dan Nabi juga tidak tahu apakah ada yang menempelkan kaki karena posisi Nabi ada di depan sebagai Imam. Paling banter Nabi hanya bisa melihat bahu. Nabi tidak ditanya apa menempel kaki yg dilakukan oleh seorang sahabat itu benar. Jadi menempel kaki itu bukan perintah Nabi. Bukan pula sunnah semua sahabat. Cuma sunnah seorang sahabat yang tidak kita kenal namanya.

2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir

وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya(HR. Bukhari)

Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.
Catatan

Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: ” أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ ” قَالَ: ” فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.

Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178, Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123

Catatan:
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.

PERHATIKAN: Nabi cuma berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali.
Perhatikan sekali lagi, Nabi cuma berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali.

Adakah Nabi memerintahkan kita menempel kaki dengan kaki? Tidak bukan?

Cuma Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Sekali lagi Nu’man cuma mengatakan dia melihat seorang laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Cuma seorang laki2 yang tidak dikenal namanya. Bukan sahabat utama.

Bisakah anda saat sholat menempelkan bahu, dengkul, dan mata kaki anda saat sholat dgn orang2 di kanan dan kiri anda? Bagaimana jika di kanan orangnya tinggi 190 cm sedang dikiri 150 cm. Bagaimana cara anda menempelkan dengkul ke dengkul 2 orang tsb? Bisa tinggi sebelah badan anda. Sholat jadi tidak benar jika memahami hadits apa adanya.

Dari Abu Mas’ud al Badri, ia berkata: Dahulu Rasulullah SAW biasa mengusap bahu-bahu kami, ketika akan memulai shalat, seraya beliau bersabda: “Luruskan shafmu dan janganlah kamu berantakan dalam shaf; sehingga hal itu membuat hati kamu juga akan saling berselisih”. (Shahih: Muslim no. 432).

“Luruskanlah shaf, rapatkanlah bahu-bahu, dan tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian. Dan jangan biarkan ada celah diantara shaf untuk diisi setan-setan. Barangsiapa menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya, dan barangsiapa memutuskan shaf niscaya Allah akan memutusnya”(HR. Abu Daud 666 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)

Dari 2 hadits di atas jelas bahwa yang

dirapatkan itu adalah bahu. Bukan kaki.

Loh nanti setan bisa lewat kaki kalau ada celah di kaki? Kenapa tidak sekalian saja tutup celah di betis, paha, pinggang, pinggul, dada, dsb sehingga akhirnya seperti orang berpelukan? Ini mau sholat apa berpelukan? Jadi rapatnya itu yang wajar-wajar saja. Cukup bahu dengan bahu.

Lihat hadits sahih di bawah Ibnu Umar sholat dgn kaki rapat. Meski ini bukan utama. Yang utama adalah lurus. Tapi bukan renggang mengangkang sebagaimana kaum akhir zaman sekarang.

“Dari Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata: ‘aku melihat Ibnu Umar shalat dengan merapatkan kedua kakinya ketika aku masih kecil’” (HR. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 3/250 dengan sanad shahih).
Kalau kaki ngangkang dan nempel, tapi bahu malah renggang, nah itu keliru. Maksudnya itu kan agar sebanyak mungkin orang bisa sholat. Itulah makna dari merapatkan shaf. Banyak orang bisa sholat. Kalau kaki ngangkang lebar2 misalnya 1 meter, malah makan tempat dan tidak rapat.

Sepertinya gerakan menempel ini karena pengaruh buku “Sifat Sholat Nabi” karya Syeikh Nashirudin Al-Albani yang lahir tahun 1914 Masehi. Albani ini hingga umur 20 tahun jadi tukang servis jam. Setelah itu membaca berbagai kitab hadits di perpustakaan tanpa berguru, kemudian dinobatkan jadi Ahli Hadits. Makanya pemahaman haditsnya menyalahi para Imam Mazhab. Dianggap sebelum Albani bikin “Sifat Sholat Nabi”, orang2 Islam termasuk Imam Syafi’ie sholatnya tidak seperti Nabi. Padahal justru Imam Mazhab yang merupakan generasi Tabi’in (anak sahabat Nabi) atau Tabi’it Tabi’in (cucu sahabat Nabi) itulah yang sholatnya mirip Nabi karena para sahabat sholat langsung dgn Nabi sementara Tabi’in sholat langsung dgn sahabat dan Tabi’it Tabi’in langsung dgn Tabi’in.
Albani yang lahir di abad 20 ini jelas bukan ulama Salaf. Aneh jika dia bikin kitab “Sifat Sholat Nabi” yang akhirnya malah menyelisihi pendapat Jumhur Ulama. Menurut Albani, sholat wanita dgn pria itu sama. Tidak ada bedanya.

Cuma baru2 ini saja ada sekelompok anak2 muda yang mencari2 kaki orang2 di sampingnya untuk ditempel. Kita sudah tarik, masih ditempel lagi. Kita tarik lagi, ditempel lagi. Bukannya sholat mengingat Allah akhirnya main tempel2an kaki.

Kebayang tidak jika di kanan kita ada yang Aids atau kudisan dan sebelah kiri kita hepatitis atau penyakit kulit/menular lainnya? Dengan 1000 jema’ah yang tempel2an kaki, penyakit menular bisa mewabah dengan hebat di negeri2 Islam. Kalau bahu dgn bahu masih dipisah dengan 2 lembar kain. Kalau kaki, langsung kulit dgn kulit menempel.

Kalau cuma seorang sahabat melakukan, sementara Nabi sebenarnya tidak melihatnya karena posisi Nabi sbg Imam di depan, sebetulnya itu di bawah Taqrir. Bukan perintah Nabi. Ini sama halnya ada sahabat yang makan dlabb (sejenis biawak padang pasir), namun Nabi tidak mau dan cuma melihatnya, itu bukan artinya Nabi mewajibkan kita memakan dlabb. Cuma kaum akhir zaman ini pemahamannya cingkrang.

Jadi kalau memahami hadits itu harus hati2. Harus ikut Ulama. Jangan main tafsir sendiri. Jangan sampai seperti hadits ini:
Hadis riwayat Ali ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.1771)
“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Komentar Ulama

Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.

1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani 

Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.

Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai SUNNAH Nabi.

Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.

Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.

Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lag di masa sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya?

2. Syeikh Bakr Abu Zaid  :  Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia

Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat(Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13.  Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :

وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.

Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.

Bakr Abu Zaid melanjutkan:

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.

Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah.

3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga  pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.

Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.

4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali

Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:

حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.

lihat : Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)

Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. ( Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211 )
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.


Point Penting


Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?


1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW

Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian

Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.


2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat

Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:


[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami

[رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami

[فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki


Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:

ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Lihat  :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99

Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?


3. Anas tidak melakukan hal itu

Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.

Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. ( Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211 )

Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.


( Di kutib dari berbagai sumber )

Wassalam

Artikel blog viral Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Scroll to top