Mario Teguh dan PKS Punya Strategi Marketing yang Sama?






Berita Metropolitan - “Kenapa cuma Mario Teguh yang
kalian caci maki? Padahal di dunia ini ada ribuan lelaki brengsek yang
mencampakkan istri pertamanya, juga melupakan anak darah dagingnya.
Kenapa cuma Pak Mario yang kalian hujat ha? Kenapaaa? Jadi kalian itu
anti-Mario, apa anti-motivasi?”

Saya berharap ada yang
berteriak-teriak begitu pada hari-hari ini, ketika gonjang-ganjing Sis
Maryono Teguh vs Ario Kiswinar Teguh terus memanas. Itu karena kasus
Mario membuat saya tiba-tiba ingat PKS, partai tauladan ummat.

Sudah
sejak lama semua orang tahu, tiap kali PKS dicerca karena kadernya
terbukti korupsi, misalnya, para fans PKS selalu hadir dengan kalimat
pembelaan nan template.

Kenapa kalau PKS
berkasus, lantas kalian hujat sampai sebegitu rupa? Bukannya kader
partai lain lebih korup? Korup mana PKS sama PDIP dan Golkar, coba? Jadi
sebenarnya kalian itu benci PKS, apa benci Islam?”

Tenang,
jamaah yang berbahagia. Saya tidak akan bicara politik, juga tidak akan
bicara urusan pribadi rumah tangga Pak Mario. Saya lelaki lemah yang tak
punya kapasitas apa-apa untuk perkara-perkara semacam itu. Saya cuma
pedagang, dan sebagai pedagang, saya kepingin membaca semua ini dari
kaca mata ilmu marketing gampang-gampangan.

Begini.
Menurut saya, Mario Teguh dan PKS sama-sama pemberani. Dari sudut
pandang bisnis, keduanya punya nyali besar dalam mengambil risiko
pemasaran.

Pada awal kemunculannya, Partai Keadilan adalah partai
yang sama sekali baru dan belum cukup dikenal. Perolehan suaranya pada
Pemilu 1999 yang cuma 1,36% sangatlah wajar. Itu toh baru fase promosi.
Namun lihat, pada Pemilu 2004, PK yang sudah ditambahi “Sejahtera” itu
melejit hebat. Suara yang ia raup membengkak hampir tujuh kali lipat.
Tujuh kali lipat, Sodara!

Lalu apa rahasianya? Kaderisasi itu pasti. Tapi di level massa mengambang, PKS hadir dengan unique selling point
yang merebut perhatian: muda, bersih, tertib, menjunjung tinggi akhlak.
Ya, akhlak, alias moralitas. Satu nilai jual yang berhasil disinkronkan
dengan aneka performa pendukung.

Saya ambil dua contoh saja. Pertama, di saat semua parpol lain mengklaim membela rakyat, PKS cukup menampilkan wajah relijiyes. Otomatis, mulai kejujuran hingga pantang makan uang haram, sudah menjadi bagian dari branding agamis itu.

Kedua,
penampilan simbolis di lapangan. Ketika pasukan parpol lain turun pawai
bermotor ke jalan-jalan untuk pamer massa dan kekuatan, PKS jauh lebih
cerdik. Mereka berpawai sangat tertib. Dilarang pakai knalpot blombongan,
cukup klakson yang tat-tit-tat-tit. Dilarang memacetkan arus kendaraan,
harus disiplin jejer dua-dua menggunakan separuh jalan. Bahkan, para
kader PKS yang ikut pawai bermotor itu dianjurkan sebisa mungkin tak
memakai kain penutup muka, agar senyum mereka bisa ditebarkan dengan
penuh pesona.

Masyarakat yang sudah muak dengan arogansi massa
parpol, dan mual dengan janji pembelaan atas rakyat kecil tapi omong
kosong, serasa menemukan harapan baru. Akhlak. Moralitas. Keramahan.
Kemuliaan karakter. Kesempurnaan.

Akibatnya memang dahsyat. Anda tahu sendiri hasilnya, bukan?

Nah,
Mario Teguh pun tak beda. Dia menjalankan profesi langka, yaitu
motivator. Bukan cuma motivator bisnis. Bukan cuma motivator agama.
Bukan juga cuma motivator MLM.

Tak main-main, Mario memantapkan branding-nya
sebagai motivator kehidupan. Ribuan nasihat dan sari kebijaksanaan yang
muncul dari kata-katanya adalah panduan bagi kehidupan jutaan orang.
Semua itu bisa menjadi tuntunan dalam berbisnis, dalam bersekolah, dalam
berkarier, dalam berumah tangga, dalam menjalin relasi, dalam mencerna
dan menyikapi aneka problem kehidupan. Pendek kata, Mario Teguh bisa
menjawab nyaris segala persoalan umat manusia!

(Andai Mario hidup
di India, pasti ajarannya sudah menjadi sekte agama baru. Ia hampir
setara dengan Sai Baba, atau minimal Deepak Chopra.)

Dalam hal ini, Mario mengambil positioning mirip PKS. Selling point yang ia tampilkan adalah segala hal yang mulia, yang sempurna, yang menjunjung moral, serta apa pun yang endah-endah.

Dengan positioning
semulia itu, baik buat PKS maupun buat Mario, konsekuensinya memang
berat. Konsumen tak lagi melulu melihat produk yang dijajakan oleh PKS
dan Mario. Mereka tidak cuma peduli akan komoditasnya, melainkan juga
tentang bagaimana si pedagangnya.

Bandingkan dengan pedagang
lain. Pedagang pecel, misalnya. Orang pada makan pecel tanpa merasa
harus tahu bagaimana kehidupan pribadi penjual pecelnya. Mau utang dia
banyak dan tak ada satu pun yang dilunasi, konsumen tak bakal peduli.
Mau dia keluyuran di Sarkem tiap malam, bagi konsumen toh yang penting
pecelnya enak. Itu cukup.

Pedagang dari segmen yang lebih intelektuil, dengan pasar yang juga sesama intelektuil,
pun sama saja. Pedagang buku, contoh mudahnya. Saya kenal beberapa
pemilik rumah penerbitan. Mereka sering meratap-ratap mengeluhkan
turunnya minat baca masyarakat. Tapi, ya ampun, mereka sendiri blas tak
kenal membaca. Satu-satunya jenis bacaan yang mereka sukai hanyalah
laporan penjualan bulanan. Lalu apa kalian kira para pembeli
buku-bukunya bakalan pusing soal itu? Nehi, lah.

Dalam hukum pemasaran, sudah tegas sekali rumusnya: high risk, high return.
Kalau mau memancing ikan yang besar, harus juga mau memasang umpan yang
besar. Umpan besar itu dapat dilihat sebagai modal yang bakal kembali
berlipat, namun sekaligus bisa jadi potensi loss alias
kehilangan yang berat. Baik Mario Teguh maupun pucuk pimpinan PKS jelas
tidak bodoh, dan sudah pasti 100% paham hukum itu.

Dalam
perjalanan bisnisnya, kita saksikan, Mario sudah berhasil menjaring
ikan-ikan raksasa. Itulah sebabnya, hanya orang tak kenal marketing
saja yang sinis setengah sirik, ketika tahu Mario dibayar 110 juta per
jam. Lha itu sudah semestinya to ya. Dia berani mempertaruhkan umpan
besar, dengan selling point berupa moral dan kesempurnaan. Itu
berat, sekaligus sangat rapuh dan rentan runtuh. Langkah semacam itu tak
dilakukan oleh bakul pecel maupun bakul buku. Jadi sungguh sama sekali
bukan hal yang nista, ketika Mario dengan gesit menjaring ikan yang jauh
lebih besar daripada umpannya. 

Namun juga sebaliknya, ketika
sekarang ramai orang mencaci Mario karena dituding kehidupan pribadinya
tak seiring-senafas dengan segenap kemuliaan komoditas jualannya, itu
pun hukum pasar biasa. Sangat wajar, dan Mario pasti sudah sangat siap
dengan risiko itu sejak jauh-jauh hari sebelumnya.

Nah, ini tak bedanya dengan PKS. PKS sudah berjaya dengan limpahan suara yang menggelembung luar biasa. Selling point
pada komoditas yang dijajakan sudah menghasilkan laba gemilang tak
terkira. Maka jika pada suatu ketika konsumen melihat sosok-sosok
pedagang politik dalam tubuh PKS bersikap tak sama dengan jualan mereka,
ya wajar saja muncul cacian. Caci maki itu jelas lebih deras menghujani
PKS, daripada ke parpol-parpol lain. Kenapa? Sebab parpol lain tak ada
yang menjajakan kemuliaan akhlak sebagai nilai jual mereka.

Semuanya wajar-wajar saja, alami-alami saja, dalam hukum alam di dunia pemasaran.

Itulah
sebabnya, saya ketawa melihat segelintir fans PKS tidak terima waktu
partai pujaan mereka dibuli habis-habisan, padahal beberapa kader PKS
sudah terbukti korup atau melakukan hal wagu semisal nonton gambar bokep di ruang sidang Dewan. Mereka itu sudah dapat gunung emasnya, e lha kok tidak siap menghadapi risiko bisnisnya. Sikap merajuk karena dibuli demikian itu tak lebih dari kelakuan caper dan cengeng, buah dari ketiadaan pemahaman atas hukum pasar.

Tapi toh sejarah berkata, PKS terus bertahan. Maka prediksi saya, begitu jugalah Mario nantinya.

Tanpa
bertendensi turut campur urusan rumah tangganya, saya percaya Pak Mario
akan tetap Teguh, tak gampang ditumbangkan. Bahkan sambil menudingkan
telunjuk dalam style ala Golden Ways dan Super Show, Pak Mario juga bakal menghajar telak para penyindir meme-memenya:

“Sahabat saya yang baik hatinya, hidup ini kadangkala bisa dibuat segampang bunyi mulut saya. Itu.” (tirto.id, Kolumnis: Iqbal Aji Daryono)




Source link

0 komentar:

Posting Komentar

Scroll to top