Suatu hari sepulang belanja bulanan di sebuah hypermarket, anak pertamaku yang belum berusia 4 tahun menunjuk ke arah play ground sebuah restoran cepat saji sambil berkata, “Mih, aku mau main perosotan di situ, ya. ”

Saya mengecek dompet serta benar saja, duit bekas berbelanja kurang untuk makan di restoran itu. “Kakak, maaf ya, duit mimih kurang. Lain barangkali kita mainnya, ya, ” rayuku mengharapkan dia tahu posisiku.
Diluar sangkaan, anakku yang umumnya penurut serta tidak sering memohon beberapa macam, mendadak mengamuk. “Kakak ingin main saat ini! Tidak mau besok! ” teriaknya dengan cucuran air mata.
Saya tertegun serta mulai rasakan mataku memanas. Sekuat tenaga kutahan air mata ini supaya tak meluncur. Begitu nelangsanya hatiku waktu itu, tak dapat penuhi keinginan buah hatiku yang tidak sering sekali memohon.
Peristiwa itu membuatku menimbang-nimbang kembali tawaran beberapa rekanku untuk bekerja full time. Sekarang ini saya memanglah bekerja paruh saat sebagai dosen honorer. Saya memikirkan, mungkin saja bila saya kembali bekerja full time serta peroleh pendapatan tetaplah, saya dapat penuhi kepentingan anak-anakku yang semakin banyak.
Terlebih apabila anakku telah berkumpul dengan sepupu-sepupunya, ada saja yang ia katakan. Umpamanya, tempo hari sepupunya habis dibelikan mainan, habis berjalan-jalan, berlibur ke luar negeri dsb. Anakku tidak sering sekali memohon, namun saya tahu ia mengharapkan juga saya memberi itu untuk dia. Terkadang saya jadi menyalahkan

Saya mengecek dompet serta benar saja, duit bekas berbelanja kurang untuk makan di restoran itu. “Kakak, maaf ya, duit mimih kurang. Lain barangkali kita mainnya, ya, ” rayuku mengharapkan dia tahu posisiku.
Diluar sangkaan, anakku yang umumnya penurut serta tidak sering memohon beberapa macam, mendadak mengamuk. “Kakak ingin main saat ini! Tidak mau besok! ” teriaknya dengan cucuran air mata.
Saya tertegun serta mulai rasakan mataku memanas. Sekuat tenaga kutahan air mata ini supaya tak meluncur. Begitu nelangsanya hatiku waktu itu, tak dapat penuhi keinginan buah hatiku yang tidak sering sekali memohon.
Peristiwa itu membuatku menimbang-nimbang kembali tawaran beberapa rekanku untuk bekerja full time. Sekarang ini saya memanglah bekerja paruh saat sebagai dosen honorer. Saya memikirkan, mungkin saja bila saya kembali bekerja full time serta peroleh pendapatan tetaplah, saya dapat penuhi kepentingan anak-anakku yang semakin banyak.
Terlebih apabila anakku telah berkumpul dengan sepupu-sepupunya, ada saja yang ia katakan. Umpamanya, tempo hari sepupunya habis dibelikan mainan, habis berjalan-jalan, berlibur ke luar negeri dsb. Anakku tidak sering sekali memohon, namun saya tahu ia mengharapkan juga saya memberi itu untuk dia. Terkadang saya jadi menyalahkan
sendiri.
Kuutarakan niatku untuk kembali bekerja pada suami. Kebetulan belum lama ini seseorang teman dekat menawariku posisi yang begitu menarik. Suamiku menyerahkan semua padaku. Pada akhirnya saya
menghubungi sahabatku itu serta selekasnya ia memohonku untuk melakukan training sepanjang 3 hari.
Sepanjang training, saya begitu tegang, hatiku tidak karuan. Bayang-bayang ke-2 anakku selalu berkelebat. Saya rindu senyuman, tangisan, ocehan mereka yang lucu. Apakah benar ini ketentuan yang paling baik untuk keluargaku? Apakah bila saya bekerja fulltime serta peroleh pendapatan lebih, anak-anakku dapat bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu saja menderaku.
Tiga hari kujalani training, namun saya makin tak meyakini saja. Setiap saya pergi, anak-anakku masihlah tidur serta waktu pulang, mereka telah tidur. Kuutarakan keresahanku pada sahabatku. Dia tahu serta memberiku saat untuk memikirkan.
Saya sudah memutuskan. Tidak terbayang bila beberapa besar saat saya butuhkan diluar tempat tinggal, sedang anak-anakku diasuh orang lain. Serta mungkinkah pembinaan agama untuk anak-anakku bisa didelegasikan pada khadimat atau baby sitter yang belum terang keimanan serta komitmennya pada Islam? Memanglah saya tidak dapat membelikan mainan mahal untuk anak-anakku, atau sarana lain yang didapat sepupunya. Namun saya meyakini bukanlah materi yang bisa menanggung kebahagiaan seseorang anak.
Iseng-iseng saya ajukan pertanyaan pada anak pertamaku. “Kak, bisa tak mimih kerja? Sehari-hari pergi pagi, pulangnya malam seperti papah. ” Dia terdiam memerhatikanku, lalu terucap kalimat yang telah saya sangka, “Aku tidak mau mimih kerja. Saya pingin ada mimih. ”
Memanglah tak gampang pilih serta bikin ketentuan. Namun sepanjang ketentuan itu didasarkan atas Al Quran serta hadits dan maksudnya ikhlas lantaran Allah semata, pastinya harus kita yakini. Bagiku mengasuh anak dan menanamkan kecintaan pada Islam yaitu amanah paling tinggi untuk seseorang wanita. Permasalahan rejeki cukup Allah sebaik-baik penolong.
Kuutarakan niatku untuk kembali bekerja pada suami. Kebetulan belum lama ini seseorang teman dekat menawariku posisi yang begitu menarik. Suamiku menyerahkan semua padaku. Pada akhirnya saya
menghubungi sahabatku itu serta selekasnya ia memohonku untuk melakukan training sepanjang 3 hari.
Sepanjang training, saya begitu tegang, hatiku tidak karuan. Bayang-bayang ke-2 anakku selalu berkelebat. Saya rindu senyuman, tangisan, ocehan mereka yang lucu. Apakah benar ini ketentuan yang paling baik untuk keluargaku? Apakah bila saya bekerja fulltime serta peroleh pendapatan lebih, anak-anakku dapat bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu saja menderaku.
Tiga hari kujalani training, namun saya makin tak meyakini saja. Setiap saya pergi, anak-anakku masihlah tidur serta waktu pulang, mereka telah tidur. Kuutarakan keresahanku pada sahabatku. Dia tahu serta memberiku saat untuk memikirkan.
Saya sudah memutuskan. Tidak terbayang bila beberapa besar saat saya butuhkan diluar tempat tinggal, sedang anak-anakku diasuh orang lain. Serta mungkinkah pembinaan agama untuk anak-anakku bisa didelegasikan pada khadimat atau baby sitter yang belum terang keimanan serta komitmennya pada Islam? Memanglah saya tidak dapat membelikan mainan mahal untuk anak-anakku, atau sarana lain yang didapat sepupunya. Namun saya meyakini bukanlah materi yang bisa menanggung kebahagiaan seseorang anak.
Iseng-iseng saya ajukan pertanyaan pada anak pertamaku. “Kak, bisa tak mimih kerja? Sehari-hari pergi pagi, pulangnya malam seperti papah. ” Dia terdiam memerhatikanku, lalu terucap kalimat yang telah saya sangka, “Aku tidak mau mimih kerja. Saya pingin ada mimih. ”
Memanglah tak gampang pilih serta bikin ketentuan. Namun sepanjang ketentuan itu didasarkan atas Al Quran serta hadits dan maksudnya ikhlas lantaran Allah semata, pastinya harus kita yakini. Bagiku mengasuh anak dan menanamkan kecintaan pada Islam yaitu amanah paling tinggi untuk seseorang wanita. Permasalahan rejeki cukup Allah sebaik-baik penolong.
0 komentar:
Posting Komentar